Umatuna.com, JAKARTA - Menabung untuk berhaji sejak umur 14 tahun, berangkat ketika berusia 26 tahun. Begitulah takdir yang membuat Gibran (29) melihat Baitullah.
“Kami sekeluarga menabung bersama-sama untuk ke Tanah Suci. Sedikit demi sedikit dari gaji orang tua maupun uang saku sehari-hari,” ujar Gibran, Jumat (21/7/2017).
Ketekunan serta tekadnya untuk menunaikan rukun Islam kelima tersebut selayaknya tumbuh wajar di tengah lingkungan religius di tanah kelahirannya, Kabupaten Bangkalan, Madura, Jawa Timur. Ia mahfum masa tunggu lebih dari 10 tahun juga harus dialami hampir seluruh calon jamaah haji di Indonesia. Gibran, kedua orang tua beserta seorang adik lelakinya pun tak terlalu berambisi untuk cepat-cepat melunasi hingga mendapat porsi.
Pelan tapi pasti kabar baik datang. Tahun 2014, keluarga Gibran menelepon bahwa mereka harus mempersiapkan keberangkatan pada akhir bulan Juli. Gibran yang merantau ke ibukota selulus dari kampus ITS, Surabaya pun agak kaget karena tak menyangka panggilan ke Baitullah tiba tak lama setelah ia menikah. “Antara kepikiran meninggalkan istri dan mempersiapkan ibadahnya,” urai aparatur sipil negara ini.
Keluarganya pun berusaha menenangkan dengan berusaha membantu segala keperluan administrasi dan akomodasi sang anak sulung tersebut. Gibran merasa bersyukur keluarganya mengerti dan saling bahu membahu. Walhasil, ia hanya menyempatkan waktu pulang ke kampungnya sebulan sebelum keberangkatan untuk suntik meningitis. Setelah itu ia langsung kembali bertugas.
Persiapan baju ihram dan perlengkapan ibadah Gibran pun disiapkan oleh sang ibu dalam koper haji. Sementara Gibran hanya membawa baju harian dan membeli satu set pakaian dalam untuk dibawa dari Jakarta ke Madura.
“Saya enggak sempat ikut manasik karena baru tiga hari menjelang keberangkatan dapat izin kantor untuk pulang ke Madura,” jelas Gibran mengenang.
Meskipun persiapannya minim, pria beranak satu ini lagi-lagi bersyukur mendapat Kelompok Bimbingan Ibadah Haji (KBIH) yang terpercaya. Sehingga selama di Tanah Suci, ia banyak mendapatkan ilmu tentang prosesi ibadah haji dan saat puncak Armina, sang kiai pengasuh KBIH berkenan memimpin langsung jemaahnya agar benar-benar mendapatkan ibadah haji yang sempurna dan menjadi haji mabrur.
Haji Bikin Kompak
Pengalaman berhaji di usia relatif muda bersama keluarga inti menyematkan kenangan dan pelajaran hidup berharga bagi Gibran. Ia mengaku hubungan antara ayah, ibu, dan adiknya kian intim dan dekat sepulang dari Tanah Suci. Apa pasal?
“Kami saling bantu di sana. Ibu kami tubuhnya kecil sehingga kami, para lelaki janjian untuk membentuk formasi untuk melingkupi gerak ibu agar aman ketika berdesak-desakan,” urainya.
Ketika melihat Kakbah pertama kali pun, Gibran merasa sang ibu mengalami sedikit disorientasi karena tengah beradaptasi dengan sekitarnya. Ia dan sang ayah berupaya menenangkan. Begitu pula ketika sang ayah yang memakai gelang risti merah karena mengidap diabetes disarankan istirahat saat lempar jumroh. Gibran bersedia menggantikan (badal).
“Saya harus mlipir menghindari askar yang melarang jamaah melawan arus karena saya harus mengulang dari jumroh Aqabah ke Ula lagi untuk badal bapak,” jelas Gibran.
Ia pun bersyukur telah melengkapi kewajibannya sebagai seorang Muslim sekaligus diberi kesempatan menjaga kedua orang tuanya menunaikan ibadah. Sumber: Okezone
“Kami sekeluarga menabung bersama-sama untuk ke Tanah Suci. Sedikit demi sedikit dari gaji orang tua maupun uang saku sehari-hari,” ujar Gibran, Jumat (21/7/2017).
Ketekunan serta tekadnya untuk menunaikan rukun Islam kelima tersebut selayaknya tumbuh wajar di tengah lingkungan religius di tanah kelahirannya, Kabupaten Bangkalan, Madura, Jawa Timur. Ia mahfum masa tunggu lebih dari 10 tahun juga harus dialami hampir seluruh calon jamaah haji di Indonesia. Gibran, kedua orang tua beserta seorang adik lelakinya pun tak terlalu berambisi untuk cepat-cepat melunasi hingga mendapat porsi.
Pelan tapi pasti kabar baik datang. Tahun 2014, keluarga Gibran menelepon bahwa mereka harus mempersiapkan keberangkatan pada akhir bulan Juli. Gibran yang merantau ke ibukota selulus dari kampus ITS, Surabaya pun agak kaget karena tak menyangka panggilan ke Baitullah tiba tak lama setelah ia menikah. “Antara kepikiran meninggalkan istri dan mempersiapkan ibadahnya,” urai aparatur sipil negara ini.
Keluarganya pun berusaha menenangkan dengan berusaha membantu segala keperluan administrasi dan akomodasi sang anak sulung tersebut. Gibran merasa bersyukur keluarganya mengerti dan saling bahu membahu. Walhasil, ia hanya menyempatkan waktu pulang ke kampungnya sebulan sebelum keberangkatan untuk suntik meningitis. Setelah itu ia langsung kembali bertugas.
Persiapan baju ihram dan perlengkapan ibadah Gibran pun disiapkan oleh sang ibu dalam koper haji. Sementara Gibran hanya membawa baju harian dan membeli satu set pakaian dalam untuk dibawa dari Jakarta ke Madura.
“Saya enggak sempat ikut manasik karena baru tiga hari menjelang keberangkatan dapat izin kantor untuk pulang ke Madura,” jelas Gibran mengenang.
Meskipun persiapannya minim, pria beranak satu ini lagi-lagi bersyukur mendapat Kelompok Bimbingan Ibadah Haji (KBIH) yang terpercaya. Sehingga selama di Tanah Suci, ia banyak mendapatkan ilmu tentang prosesi ibadah haji dan saat puncak Armina, sang kiai pengasuh KBIH berkenan memimpin langsung jemaahnya agar benar-benar mendapatkan ibadah haji yang sempurna dan menjadi haji mabrur.
Haji Bikin Kompak
Pengalaman berhaji di usia relatif muda bersama keluarga inti menyematkan kenangan dan pelajaran hidup berharga bagi Gibran. Ia mengaku hubungan antara ayah, ibu, dan adiknya kian intim dan dekat sepulang dari Tanah Suci. Apa pasal?
“Kami saling bantu di sana. Ibu kami tubuhnya kecil sehingga kami, para lelaki janjian untuk membentuk formasi untuk melingkupi gerak ibu agar aman ketika berdesak-desakan,” urainya.
Ketika melihat Kakbah pertama kali pun, Gibran merasa sang ibu mengalami sedikit disorientasi karena tengah beradaptasi dengan sekitarnya. Ia dan sang ayah berupaya menenangkan. Begitu pula ketika sang ayah yang memakai gelang risti merah karena mengidap diabetes disarankan istirahat saat lempar jumroh. Gibran bersedia menggantikan (badal).
“Saya harus mlipir menghindari askar yang melarang jamaah melawan arus karena saya harus mengulang dari jumroh Aqabah ke Ula lagi untuk badal bapak,” jelas Gibran.
Ia pun bersyukur telah melengkapi kewajibannya sebagai seorang Muslim sekaligus diberi kesempatan menjaga kedua orang tuanya menunaikan ibadah. Sumber: Okezone
COMMENTS