Umatuna.com - Banyaknya kasus kriminalisasi yang dialami petani menunjukkan petani sering dianggap sebagai musuh negara. Untuk mempertahankan tanah yang menjadi sumber penghidupannya, kaum tani harus berhadapan dengan kekerasan dari perusahaan maupun aparat keamanan.
Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Dewi Kartika menuturkan, kekerasan dan kriminalisasi terhadap petani seolah tidak pernah habis. Di penghujung November 2016 lalu, seorang petani Bohotokong Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah, dijadikan tersangka atas tuduhan pencurian oleh pemegang Hak Guna Usaha (HGU) PTASA.
Aparat Kepolisian melakukan penangkapan di Desa Bohotokong, di lokasi Syafrudin Madili, 43 tahun, melakukan aktivitas kesehariannya sebagai petani yang mengolah buah kelapa menjadi kopra.
"Kami mengecam keras tindakan aparat Kepolisian yang melakukan penangkapan tersebut," katanya di Jakarta, kemarin. Pihaknya menduga beberapa aparat yang melakukan penangkapan tersebut, adalah oknum yang diduga kuat memang menjadi 'peliharaan' pemilik HGU.
Dari rentetan kejadian penangkapan petani Bohotokong sejak tahun 2002, sudah 23 petani yang ditangkap. Dewi menerangkan, penangkapan/ kriminalisasi ini adalah bentuk intimidasi terhadap perjuangan petani Batohokong yang menuntut hak-hak atas tanahnya, yang telah diserobot oleh PT ASA pada tahun 1997.
"Padahal sejak 1984 hingga 1996, sudah terhitung 4 kali petani mengajukan hak baru kepada BPNdi atas tanah negara tersebut," ungkapnya.
KPA menilai, pemerintahan Jokowi-JK masih seperti rezim-rezim sebelumnya yang memperlakukan petani sebagai 'musuh' negara. Petani malah tidak dianggap sebagai warga negara yang memiliki hak konstitusional serta telah memberikan sumbangsih besar terhadap perbaikan perekonomian bangsa.
"Petani seharusnya dijamin kehidupannya oleh negara karena turut berjasa atas pemenuhan pangan nasional, bukan justru dipaksakan terpisah dari sumber-sumber penghidupannya," kata Dewi.
Pelaksanaan reforma agraria sebagaimana dijanjikan oleh pemerintah, lanjutnya, tidak akan pernah berhasil jika petani masih terus direpresi, terus dipaksa mengaku bersalah atas penguasaan tanahnya, dan terus menerus ditakut-takuti dengan surat penangkapan yang belum tentu sesuai dengan ketentuan kitab undang-undang hukum acara pidana (KUHAP).
Kepala departemen keorganisasian Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Ahmad, mengatakan pihaknya akan terus mengingatkan rezim Jokowi-JK untuk tidak memperlakukan petani sebagai 'musuh' negara.
"Kapolri juga harus lebih tegas dalam melakukan pengawasan terhadap jajarannya saat menjalankan tugasnya sebagai pelindung rakyat," katanya.
Pihaknya juga menegaskan kepada pemerintah untuk secara konsisten menjalankan janji reforma agraria berupa redistribusi tanah 9 juta hektar dan menyelesaikan konflik-konflik agraria.
Termasuk di dalamnya melakukan peninjauan kembali, sekaligus menertibkan HGU-HGU yang terbit tanpa memperhatikan hak atas tanah dari masyarakat, sehingga menimbulkan potensi-potensi konflik agraria serupa.
"Kami juga mendesak Presiden Joko Widodo dan Kapolri untuk segera membebaskan petani Syafrudin Madili yang sampai hari ini masih ditahan oleh Polres Banggai, Prov. Sulawesi Tengah," sebutnya.
Pemerintah juga harus menghentikan upaya penangkapan terus-menerus terhadap Petani Bohotokong. Serta menurunkan Tim Propam Mabes Polri untuk memeriksa oknum aparat Kepolisian Polres Banggai yang diduga kuat menjadi 'peliharaan' pemilik HGU. ***
Sumebr: Rmol
Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Dewi Kartika menuturkan, kekerasan dan kriminalisasi terhadap petani seolah tidak pernah habis. Di penghujung November 2016 lalu, seorang petani Bohotokong Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah, dijadikan tersangka atas tuduhan pencurian oleh pemegang Hak Guna Usaha (HGU) PTASA.
Aparat Kepolisian melakukan penangkapan di Desa Bohotokong, di lokasi Syafrudin Madili, 43 tahun, melakukan aktivitas kesehariannya sebagai petani yang mengolah buah kelapa menjadi kopra.
"Kami mengecam keras tindakan aparat Kepolisian yang melakukan penangkapan tersebut," katanya di Jakarta, kemarin. Pihaknya menduga beberapa aparat yang melakukan penangkapan tersebut, adalah oknum yang diduga kuat memang menjadi 'peliharaan' pemilik HGU.
Dari rentetan kejadian penangkapan petani Bohotokong sejak tahun 2002, sudah 23 petani yang ditangkap. Dewi menerangkan, penangkapan/ kriminalisasi ini adalah bentuk intimidasi terhadap perjuangan petani Batohokong yang menuntut hak-hak atas tanahnya, yang telah diserobot oleh PT ASA pada tahun 1997.
"Padahal sejak 1984 hingga 1996, sudah terhitung 4 kali petani mengajukan hak baru kepada BPNdi atas tanah negara tersebut," ungkapnya.
KPA menilai, pemerintahan Jokowi-JK masih seperti rezim-rezim sebelumnya yang memperlakukan petani sebagai 'musuh' negara. Petani malah tidak dianggap sebagai warga negara yang memiliki hak konstitusional serta telah memberikan sumbangsih besar terhadap perbaikan perekonomian bangsa.
"Petani seharusnya dijamin kehidupannya oleh negara karena turut berjasa atas pemenuhan pangan nasional, bukan justru dipaksakan terpisah dari sumber-sumber penghidupannya," kata Dewi.
Pelaksanaan reforma agraria sebagaimana dijanjikan oleh pemerintah, lanjutnya, tidak akan pernah berhasil jika petani masih terus direpresi, terus dipaksa mengaku bersalah atas penguasaan tanahnya, dan terus menerus ditakut-takuti dengan surat penangkapan yang belum tentu sesuai dengan ketentuan kitab undang-undang hukum acara pidana (KUHAP).
Kepala departemen keorganisasian Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Ahmad, mengatakan pihaknya akan terus mengingatkan rezim Jokowi-JK untuk tidak memperlakukan petani sebagai 'musuh' negara.
"Kapolri juga harus lebih tegas dalam melakukan pengawasan terhadap jajarannya saat menjalankan tugasnya sebagai pelindung rakyat," katanya.
Pihaknya juga menegaskan kepada pemerintah untuk secara konsisten menjalankan janji reforma agraria berupa redistribusi tanah 9 juta hektar dan menyelesaikan konflik-konflik agraria.
Termasuk di dalamnya melakukan peninjauan kembali, sekaligus menertibkan HGU-HGU yang terbit tanpa memperhatikan hak atas tanah dari masyarakat, sehingga menimbulkan potensi-potensi konflik agraria serupa.
"Kami juga mendesak Presiden Joko Widodo dan Kapolri untuk segera membebaskan petani Syafrudin Madili yang sampai hari ini masih ditahan oleh Polres Banggai, Prov. Sulawesi Tengah," sebutnya.
Pemerintah juga harus menghentikan upaya penangkapan terus-menerus terhadap Petani Bohotokong. Serta menurunkan Tim Propam Mabes Polri untuk memeriksa oknum aparat Kepolisian Polres Banggai yang diduga kuat menjadi 'peliharaan' pemilik HGU. ***
Sumebr: Rmol
COMMENTS